Pada Hari Rabu (8/6/2011) lalu, saya diundang oleh sebuah institusi pemerintah (Kerajaan) Malaysia untuk menyampaikan presentasi tentang tantangan pemikiran Islam kontemporer. Sebagaimana negara-negara lain di dunia, Malaysia juga berhadapan dengan tantangan modernitas, yang mengandung muatan-muatan paham modern, seperti rasionalisme, sekularisme, dan liberalisme.
Apalagi, sebagai sebuah negara yang menjadikan Islam sebagai “agama Persekutuan”, Malaysia sedang mendapatkan banyak sorotan, khususnya dari kalangan liberal yang berusaha mempersoalkan hak-hak istimewa kaum Muslim Melayu. Dalam disertasinya di Monash University, Australia, Dr. Greg Barton, memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, antara lain: Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. (Tahun 1999, disertasi Greg Barton diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina, dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia.).
Posisi negara yang netral agama inilah yang biasanya diperjuangkan kaum liberal.Di Indonesia, kaum liberal secara terbuka mendukung paham sekularisme dan menerima konsep Negara sekuler. Seorang aktivis liberal pernah menulis: “Islam liberal bisa menerima bentuk negara sekuler… sebab, negara sekuler bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus.”
Di Indonesia pula, kaum liberal pernah menggugat keberadaan UU No.1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konstitusi, tentang Penodaan Agama, karena dianggap tidak memberikan posisi yang sama antara semua agama dan semua aliran di Indonesia.
Mereka meinginginkan, posisi Islam di Indonesia harus disamakan dengan semua agama dan semua aliran – bahkan yang sudah diputuskan sesat oleh dunia Islam, seperti Ahmadiyah.Alhamdulillah, gugatan kaum liberal ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebagai sebuah negeri yang memberikan posisi khusus kepada Islam, bisa dimaklumi jika Malaysia terus-menerus menjadi sasaran “gempuran” kaum liberal. Padahal, di dunia ini banyak kekhususan-kekhususan diberikan kepada bangsa atau agama tertentu.Agama Katolik, misalnya, diberikan hak membentuk sebuah negara tersendiri (Vatikan), yang mempunyai duta besar di PBB dan berbagai negara di dunia. PBB juga mengakui Israel sebagai sebuah negara yang sah, meskipun negara ini berdiri di atas dasar “rasisme” kaum Yahudi dan banyak melanggar resolusi PBB.
Dengan merujuk kepada aspek kesejarahan, Islam saat ini mendapatkan posisi khusus di Malaysia.Meskipun kaum Muslim hanya sekitar 60 persen dari total penduduknya, keberadaan Islam. Pemerintah Malaysia berkewajiban menjaga eksistensi agama dan akidah Islam di bumi Malaysia:
"Kerajaan tidak pernah bersikap sambil lewa dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah umat Islam. Segala pendekatan dan saluran digunakan secara bersepadu dan terancang bermula dari pendidikan hinggalah ke penguatkuasaan undang-undang semata-mata untuk melihat akidah umat Islam terpelihara di bumi Malaysia". (*
http://www.islam.gov.my/e-rujukan/islammas.html)
Usai memberikan presentasi, saya mendapatkan hadiah menarik: sebuah buku berjudul "Menjana Negara Sejahtera dan Bahagia Menjelang 2020". Buku ini merupakan kumpulan tulisan para cendekiawan dan pejabat tinggi (pegawai kanan) pemerintah Malaysia, seperti Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Prof. Dr. Ismail Ibrahim, Dr. Rais Yatim. Dato’ Fuad Hasan, Prof. Dr. Sidek Baba, dan sebagainya.
Sebagai satu negara “berbilang kaum”, Malaysia memang menghadapi masalah integrasi kebangsaan.Negara itu sedang berusaha membentuk perpaduan yang harmonis antara tiga kaum yang dominan, yaitu Melayu, China, dan India. Sejumlah penulis dalam buku ini merujuk kepada “Piagam Madinah” sebagai dasar rujukan gagasan “1Malaysia” yang kini dicanangkan oleh PM Malaysia, Najib Tun Abdul Razak.
Dato’ Fuad Hasan menyebutkan, bahwa sejak awal pendirian Negara Malaysia, kaum Cina (MCA) dan India (MIC) telah menerima status agama Islam sebagai Agama Persekutuan, bahasa Melayu sebagai Bahasa Kebangsaan, dan Hak Keistimewaan Orang Melayu dan Keadulatan Raja-raja dan Sultan Melayu.
Dalam buku ini, Negara Sejahtera dan Bahagia mengambil gambaran al-Quran Surat Ibrahim (14) ayat 24-26, yang maknanya:
“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah membuat kalimat yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizing Tuhannya.Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka ingat (mengambil pelajaran). Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk seperti pohon yang buruk yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat (tegak) sedikit pun.”
Ayat al-Quran ini memberikan dasar yang tegas, bahwa Negara Maju dan Bahagia wajib berasas kepada Tauhid, yakni keyakinan yang kokoh bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah manusia, yang wajib ditaati perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya. Orang Muslim, di mana pun berada, pasti sangat setuju dengan upaya penegakan kalimah Tauhid di muka bumi, dan pasti bersyukur jika ada umat manusia yang bertekad untuk menjadikan Tauhid sebagai asas tegaknya suatu masyarakat.
Lawan dari tauhid adalah syirik (kemusyrikan). Luqmanul Hakim, tokoh bijak yang diabadikan dalam al-Quran, mengajarkan kepada kita sebuah dasar pendidikan: “Wahai anakku, janganlah menserikatkan Allah dengan yang lain, sebab syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS 31:13).
Syirik adalah kezaliman dan sikap yang tidak beradab kepada Allah.Syirik adalah dosa besar, karena menempatkan Allah – satu-satu-Nya al-Khaliq –sejajar dengan manusia atau mengangkat manusia ke derajat al-Khaliq.Kita melihat, dalam dunia manusia, Presiden saja diperlakukan secara berbeda dengan rakyat biasa.Jika dia lewat, kita dirusuh minggir.
Apalagi, Allah Sang Pencipta manusia, tentu harusnya ditempatkan sebagai al-Khaliq.Karena itu, bisa dipahami, betapa tidak beradabnya, jika manusia mengangkat dirinya menjadi Tuhan, merasa berhak mengatur dirinya sendiri, mengatur alam semesta, mengatur Negara, dengan akal pikiran dan kemauannya sendiri dengan membuang semua ajaran Allah.
Kita terkadang melihat berbagai hal yang paradoks pada sikap sebagian manusia.Pada satu sisi mereka menentang ajaran Tuhan, tetapi pada sisi yang lain, dia juga berdoa kepada Tuhan, agar negerinya diberikan rahmat dan diselamatkan dari segala bencana.Itu sama artinya dengan si manusia itu merasa berhak mengatur Tuhan. Dialah yang menentukan, aspek mana yang Tuhan boleh campur tangan, dan aspek mana dari kehidupan manusia yang Tuhan tidak boleh terlibat.Dalam soal privat, katanya, manusia perlu taat kepada Tuhan. Tetapi, dalam soal kesenian, hiburan, ekonomi, politik, ilmu pengatahuan, dan sebagainya, si manusia menolak mentah-mentah campur tangan Tuhan.
Karena begitu pentingnya konsep Tauhid, umat Islam yakin bahwa Tauhid adalah asas tegaknya kehidupan dan peradaban Islam. Semua orang yang mengaku Muslim, pasti setuju akan tegaknya konsep Tauhid, bukan hanya pemerintah dan kaum Muslim Malaysia. Dalam acara bedah buku saya yang berjudul "Pancasila, bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam" (Jakarta: GIP, 2009), di FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 14 Juni 2011, saya menegaskan kembali kesepakatan Bung Hatta dengan sejumlah tokoh Islam, bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid.
Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
Tokoh NU KH Achmad Siddiq, dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Departemen Agama, (Jakarta, 1984/1985), juga menyatakan:
“Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”
Sebagai seorang Muslim, tentu kita sangat bersyukur, bahwa Malaysia dan Indonesia sama-sama bersepakat menjadikan Tauhid sebagai asas kehidupan berbangsa dan bernegara mereka.Tetapi, lebih penting lagi, pernyataan tertulis itu bukan hanya slogan atau jargon politik untuk menarik dukungan saat pemilihan umum. Kita perlu mengingatkan para pemimpin kita, bahwa mereka akan bertanggung jawab kepada Allah, atas segala kepemimpinan mereka.
Budaya ilmu
Buku "Menjaga Negara Sejahtera dan Bahagia Menjelang 2020", dibuka oleh artikel cendekiawan terkenal Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud berjudul “Budaya Ilmu dan Gagasan 1Malaysia dalam Konteks Pembinaan Negara Maju”.
Sebagai Muslim, tentu kita setuju, bahwa asas tauhid dan budaya ilmu memang merupakan asas pembentukan negara sejahtera dan bahagia. Melalui artikelnya tersebut, Prof. Wan Mohd Normenegaskan, bahwa “Budaya Ilmu” yang dianjurkan oleh Islam adalah meletakkan ilmu fardhu ‘ain dalam makna yang komprehensif-dinamik, sebagai kewajiban bagi setiap muslim dan ilmu fardhu kifayah bagi sebagian kaum Muslim. Juga, Budaya Ilmu bermakna, tidak menggunakan kaedah dan kerangka ilmu teknik untuk menilai ilmu-ilmu kemanusiaan; tidak menggunakan kaedah dan kerangka ilmu kemanusiaan bagi menilai ilmu-ilmu keagamaan.
Pakar pemikiran Islam yang juga penulis buku Budaya Ilmu (Satu Penjelasan), (Singapura: Pustaka Nasional Pte-Ltd, 2003), juga menjelaskan, bahwa budaya ilmu yang disarankan oleh Islam bertujuan untuk melahirkan manusia berpendidikan yang beradab yang memahami batas-batas kebenaran dan kemanfaatan (limits of truth and usefulness) terhadap segala sesuatu dan bertindak sepatutnya.
Sebagai contoh, manusia yang berbudaya ilmu dan beradab kepada Tuhan, adalah yang memahami sifat, nama dan perbuatan-Nya dengan baik, mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta selalu meminta ampun pada-Nya. Orang yang beradab pada Nabi Muhammad saw haruslah memahami derajat keluhuran beliau, mencontoh akhlak Nabi, serta menjaga hak-hak dan keluruhan sahabat-sahabat dan keluarga beliau.
Buku ini juga memberikan perspektif baru dalam melihat keberhasilan pembangunan suatu bangsa, dengan menekankan pentingnya aspek “bahagia” sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Jadi, bukan aspek “pendapatan per kapita” saja yang jadi tolok ukur keberhasilan pembangunan. Inilah cita-cita Perdana Menteri Malaysia, Dato Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak.
Wan Mohd Nor, yang kini memimpin Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization (CASIS), Universiti Teknologi Malaysia, mencatat pentingnya kedudukan kebahagiaan (sa’adah):
“Dalam pandangan alam kita, kesejahteraan dan kebahagiaan (sa’adah) adalah aspek penting dalam kemajuan individu dan masyarakat. Itulah kebaikan sebenar yang dicita-citakan di dunia dan di akhirat. Negara yang maju ialah negara yang mensejahtera dan membahagiakan rakyatnya – yang mencapai maqasid al-syariah. Itulah Negara (baldah thayyibah) yang diredhai Allah SWT.”
Konsep Negara sejahtera dan bahagia semacam ini tentunya sangat indah.Yang dikejar oleh pemerintah dan rakyat bukan hanya kesejahteraan materi, tetapi kebahagiaan yang hakiki – yang menurut Islam – hanya bisa diraih saat manusia meyakini kebenaran dan memperjuangkan kebenaran yang datang dari Allah.Islam tidak mengharamkan umatnya untuk menikmati keindahan-keindahan dunia.Islam tidak melarang umatnya menjadi kaya, mempunyai kuasa, atau menikahi wanita jelita.Islam tidak memeirntahkan umatnya untuk menjadi pertapa agar menjadi orang yang taqwa.Semua kenikmatan dunia bisa menjadi sarana ketaqwaan jika diraih dengan benar dan diniatkan untuk ibadah.
Konsep Islam tentang Negara sejahtera dan bahagia semacam itu tentu sangat berbeda dengan konsep sekular yang mengacu pada prinsip materialisme yang menjadikan segala bentuk keinginan (syahwat) manusia sebagai tujuan akhir aktivitas kehidupan manusia. Kaum secular menjadikan syahwat lidah, mata, telinga, dan sebagainya sebagai tujuan akhir. Mereka menyangka itu sebagai kebahagiaan.Kaum spiritualis ekstrim mengharamkan segala bentuk kenikmatan duniawi. Sedangkan Islam meletakkan kebahagiaan tertinggi adalah pada ma’rifah dan ketaatan kepada Allah.
Tentu kita berharap, konsep yang indah semacam ini bukan hanya slogan. Allah SWT akan murka jika kita mengucapkan apa yang kita tidak akan jalankan. (QS 61:2). Di Indonesia, istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, juga sering dikumandangkan dalam Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) yang diselenggarakan pemerintah. Mudah-mudahan konsep yang indah itu bisa terwujud dalam kehidupan kaum Muslim dalam segala aspeknya, baik secara pribadi, masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara. Jika para pemimpin negara adalah orang-orang yang shalih dan adil yang mau mendengar nasehat ulama-ulama yang berilmu bertaqwa, maka sulit untuk mencegah Negara itu akan menjadi sebuah Negara yang sejahtera dan bahagia. */ UMS Solo, 17 Juni 2011
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM
1. ULAMAK YANG BERILMU MENJADI RUJUKAN DAN PANDUAN
2. UMARAK ATAU PEMIMPIN YANG ADIL DAN TIDAK MEMBEZAKAN RAKYATNYA
3. HARTAWAN DAN DERMAWAN YANG MENYUMBANGKAN HARTANYA DI JALAN ALLAH DAN ORANG ORANG FAKIR
4. ORANG ORANG FAKIR YANG SENTIASA BERDOA KEPADA ALLAH UNTUK KEBAIKKAN ORANG LAIN IAITU UNTUK ULAMAK UMARAK DAN HARTAWAN KERANA DOA RANG YANG MISKIN DAN FAKIR LEBIH MAKBUL